MARI MENGENAL PENDIDIKAN BISNIS
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan bisnis,seperti kalau kita membeli pulsa ,membeli paket data itu merupakan sebuuah kegiatan yang berbau bisnis .Bagi yang Islam, Nabi Muhammad biasanya selalu dijadikan ikon agar siswa atau mahasiswa semangat berjualan. Kekayaan Nabi Muhammad yang luar biasa, khususnya yang ditunjukkan dengan jumlah mahar yang diperuntukkan kepada Sy. Khadijah merupakan contoh yang selalu diberikan. Intinya, bagaimana caranya agar generasi ini berani dan belajar berdagang.
Ini adalah kabar yang luar biasa. Sistem yang sangat masif digelontorkan di dunia pendidikan. Meski menurut saya, fakta ini melahirkan dampak-dampak yang kurang manis untuk disaksikan. Generasi ini secara tidak langsung telah dididik untuk menjadi kaum-kaum kapitalis. Mereka dicekoki dengan gemerlap uang, harta benda. Bukan jiwa-jiwa humanisme yang peka dan peduli pada sosialnya.
Uniknya, upaya memajukan ekonomi Indonesia melalui entrepreneurship ini tidak hanya memberikan pendidikan bisnis bagi generasi. Tapi, juga membisniskan pendidikan. Sistem-sistem dibangun agar dunia pendidikan juga menjadi bisnis yang empuk. Saya yakin kalian juga menyadari hal itu, namun, mungkin, masih sulit mengidentifikasi. Oleh karena itu, berikut saya akan coba paparkan bagaimana pendidikan ini dijadikan bisnis.
Sekitar tahun 2012, banyak orang-orang berpendidikan mendirikan sekolah. Apa alasannya? Karena dengan mendirikan sekolah maka akan mendapat bantuan dari pemerintah. Sekaligus juga mendapat uang dari siswa. Kemudian lahir bantuan operasional pendidikan atau BOS. Bantuan ini disesuaikan dengan jumlah siswa di sekolah tersebut. Alhasil, setiap sekolah membuat tim pencari siswa. Orang tua siswa diiming-imingi akan mendapatkan perlengkapan sekolah asal anaknya dimasukkan ke sekolah tertentu. Sementara orang yang berhasil membawa siswa akan dibayar oleh pihak sekolah.
Ini contoh untuk sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Sekilas, kondisi ini memang tidak memiliki kecacatan. Tapi, coba kita analisis dengan baik. Akibat niat baik pemerintah melalui BOS ini, sekolah menampung murid yang begitu banyak. Rasio antara guru dengan siswa tidak begitu dipertimbangkan oleh sekolah. Sehingga, siswa kurang terurus. Siswa menjadi liar dan guru tidak mampu bertindak sebagai orang yang dapat digugu dan ditiru. Yang penting mengajar dan gaji cair, itu sudah dianggap selesai tugasnya. Sementara siswa kebingungan mencari contoh teladan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh lahirnya sistem sertifikasi. Kendati tujuan sertifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja guru, namun pada faktanya hampir 100 persen berbuah terbalik. Guru-guru mulai sibuk mengurus administrasi sertifikasi daripada mengurus siswa. Guru sibuk mengejar jumlah jam pelajaran daripada memberikan contoh teladan yang baik bagi siswa. Tidak jarang guru hanya masuk kelas, memberi tugas, kemudian sibuk mengurus administrasi. Tidak jarang siswa ditinggalkan demi ikut pelatihan atau seminar agar bisa mendapatkan sertifikat yang dapat menunjang sertifikasi.
Jika kalian tidak percaya, silakan turun ke lapangan. Betapa banyak fakta yang menunjukkan bahwa kondisi pendidikan telah menyimpang dari esensinya. Dunia pendidikan mulai tidak mampu mencetak generasi-generasi bermoral. Menurut saya, ini bukan satu-satunya disebabkan oleh perkembangan teknologi. Tapi, lebih mendasar lagi adalah disebabkan oleh dunia pendidikan yang telah keluar dari esensi mendidiknya. Pendidikan hanya dipenuhi dengan transfer pengetahuan-pengetahuan yang kaku. Pendidikan hanya menjadi kumpulan teori yang jauh dari kenyataan.
Apakah di perguruan tinggi tidak sama? Menurut saya, dunia perguruan tinggi lebih parah lagi. Kita bisa saksikan sistem remunerasi yang diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi. Baik para dosen maupun pejabat kampus lain disibukkan dengan SPPD dan SK. Kalau kalian mau bertanya, dari mana dana remunerasi itu berasal? Tahun 2016 saya berdiskusi dengan pakar pendidikan. Beliau mengatakan kepada saya, jika perguruan tinggi tidak memiliki pendapatan lain yang mampu menutupi kebutuhan dana remunerasi maka remunerasi akan seperti balon. Saat dipencet di kanan maka akan menggelembung di kiri. Saat dipencet di kiri akan menggelembung di kanan.
Artinya, jika perguruan tinggi tidak memiliki pendapatan lebih maka untuk menutupi dana remunerasi tentu akan mengurangi dana-dana lainnya. Misalnya, dana organisasi mahasiswa akan dipangkas, fasilitas mahasiswa akan dipangkas, atau justru biaya kuliah mahasiswa akan dinaikkan. Perguruan tinggi akan menambah jumlah mahasiswa secara besar-besaran agar dana perguruan tinggi semakin banyak. Akan tetapi, fasilitas peningkatan kualitas mahasiswa semakin rumit. Biaya pendidikan semakin besar akan tetapi, sarana prasarana pendidikan cenderung tetap.
Bahkan tidak jarang perguruan tinggi sibuk bekerja sama dengan perusahaan. Tujuannya adalah agar lulusan dari perguruan tinggi tersebut dapat langsung diterima oleh perusahaan partner. Perguruan tinggi-perguruan tinggi semacam ini biasanya juga cukup mahal. Tapi, masa pendidikannya lebih singkat. Kenapa? Karena tujuan perguruan tinggi semacam ini memang dimaksudkan untuk melahirkan tenaga kerja atau pekerja. Bukan melahirkan manusia-manusia yang berpendidikan, yang merdeka, yang menjadi manusia seutuhnya.
Dari sini, saya mulai bingung dengan konsep pendidikan bisnis atau entrepreneur yang diinginkan negara ini. Bagaimana mungkin dapat melahirkan generasi-generasi yang tangguh dan bermoral jika mulai dari sistem pendidikannya hingga manusianya dijadikan objek bisnis? Padahal, sejauh pengetahuan saya, Jepang maju bukan karena mengedepankan bisnis tapi mengedepankan pendidikan. Tiongkok, AS, Rusia, Inggris, Iran, dan lain-lain, semua maju karena dimulai dengan mengedepankan pendidikan. Setelah generasinya memiliki pendidikan yang mapan, dengan sendirinya bisnis bergerak. Gagasan-gagasan inovatif dan konstruktif terbangun dengan baik. Tapi, kalau mendahulukan bisnis daripada pendidikan, akan lahir generasi-generasi pekerja, generasi kapitalis yang tidak bermoral.
Saya sangat sepakat pada sebuah hadis yang mengatakan: “Jika Anda menginginkan dunia, ada ilmunya. Jika Anda menginginkan akhirat, ada ilmunya. Jika Anda menginginkan keduanya, juga ada ilmunya.” Jadi, dahulukan ilmu, niscaya semua akan mengikuti.